
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, aku pertama kali melihatnya ketika bebek-bebek milik tetangga sedang dilanda flu liberalisme hingar dan demam fundamentalisme dangkal, tapi..aku terlalu disibukkan oleh bebek-bebek tetanggaku itu dan…kekerdilanku dalam menyikapipun terjadi, sssstt…aku tak menyapanya dalam hingar bingar itu tapi diam diam kucuri bayangnya untuk kemudian aku cumbu. Pengecut !!
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, berdiri tegak ditengah kerumunan anak manusia yang tak tahu harus kemana melangkahkan kaki, tak tahu esok akan ada duka apa lagi, tak tahu hendak dikemanakan ibu pertiwi, dan tak tahu akan makna dari sebuah kebenaran, kebenaran yang semakin samar dan buram, karena “kebenaran haruslah kekal dan tanpa batas” tuturnya, dan “kekekalan itu takkan bisa kita gapai dalam alam yang tidak kekal ini” lanjutnya, tapi cukup kau yakini kebenaran yang mengusir kekerdilan hati dan kedangkalan berpikirmu. Kebenaran adalah keyakinan masing-masing. Ucapnya sendu tapi mencekam saat bertatap mata denganku.
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, terlihat gelisah, gelisah tentang kemenangan-kemenangan, kemenangan-kemenangan itu menjadi sangat janggal, sebab mensyaratkan harus ada kekalahan, kesedihan dan penderitaan. Ia Perempuan itu menginginkan kemenangan bersama supaya kelak semua bisa merasakan kemenangan itu. Lalu jika semua sudah jadi pemenang maka tidak akan ada lagi yang kalah, lalu teori kemenangan itupun akan luntur dan kehilangan syahwatnya. Pun jika kita ingin bertamu pada kemenangan itu cukup dengan permainan belaka, cukup itu, dan takkan ada lagi kemenangan yang duduk di atas kesengsaraan sesama, takkan ada lagi kemenangan yang berdiri rapuh di atas penderitaan saudara dan kematiannya. ujarnya.
Lagi-lagi Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu berdiri tegak, terluka. Dan sekali lagi, Perempuan yang namanyapun aku tak tahu itu masih tetap berdiri tegak, tak terkecoh oleh kemiskinan filsafat, tak terkecoh oleh kemiskinan ideologi, tak terkecoh oleh kemiskinan teori, tak terkecoh oleh kemiskinan konsep, tak goyah oleh vonis buta yang keji, memang di seberang iman geraknya, tapi tak pernah terbit keinginan untuk menang.
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, menangis, meratapi negeri ini entah untuk keberapa kalinya dengan air matanya yang tak pernah kering, tidak seperti para pujangga cengeng dinegeri ini yang selalu kehabisan air mata hanya karena tuntutan yang tak pernah reda itu, dan dengan darahnya yang merah dan tulangnya yang putih itu ia akan mencoba untuk tetap terjaga dan siaga untuk negeri ini. “sudah saatnya kita membuang kepentingan itu kedalam bak sampah atau ke dalam ember tempat kita mencuci pakaiaan dalam kita supaya kelak tak membuat gatal kulit kita” tuturnya berair-air tak berapi-api. Eureka..!! inilah jenis cinta baru, cinta yang tak ada kepentingan antara surga dan nerakanya dan cinta yang melarang nafsu untuk bermain di dalamnya apalagi menjadi pemeran utama. Cinta yang agung..!.
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, menghindar dari ketakaburan ilmu pengetahuan, ia menghindar dari perkembangan mekanisme ilmu pengetahuan dan kepala batu materealisme vulgar, sekaligus telah ia ucapkan selamat tinggal pada ketrampilan genit retoris. Perempuan itu heran mengapa ada ratusan juta nasib manusia yang dipasrahkan begitu saja kepadanya yang nasib dan apesnya ia tahu.
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, menyusuri lagi asal-usul manusia, tragedi-tragedi, hingar bingar masa lampau, sayap kupu-kupu hitam, sayap kupu-kupu putih, dan ia tak pernah terbebas dari pertanyaan tentang asal-usul yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah yang tak pernah beringsut sedikitpun.
Ia, Perempuan itu, yang namanyapun aku tak tahu, marah merah melihat penyalahgunaan jabatan sakral dari para pemuka agama di negeri ini sebagai lampu hijau dari perbudakan, perbudakan yang dimanipulasi oleh coro-coro yang tak tahu ukuran kepalanya sendiri, kemudian ia ikut numpang di dalam kesakralan ketiak sang Kiai. Coro-coro inilah yang selalu meresahkan Perempuan itu, dan tanpa kusadari ternyata coro-coro itupun ikut bersemayam dalam naungan tubuhku, tubuh manusia yang berkelakuan layaknya seekor coro. Lalu Perempuan itu?.
Tak ada lagi yang bisa aku ceritakan tentangnya. Perempuan itu pergi. Menutup mata, membuka hati dan coro-coropun mulai terkena racun lalu mati keenakan. Sial !!
diketik oleh Ahmad Adib Amrullah
Dalam kamar seorang Muhayyat’