Nei.. aku mimpi. kita rihlah, kemana ya.. kurang jelas, tapi yang pasti kaki kita tak bersepatu.. dan angin cukup keras meniupi kerudungmu. di depan kita
hanya ada hamparan samudera yang semakin membiru, dan matahari yang mulai mengantuk.
bercelana jeans, berkaos ketat bak artis, kamu duduk membelakangiku. aku memelukmu, dan daguku sepenuhnya bersanggakan dagumu. tanganku melingkari pinggangmu, dan ujung jariku, kamu gembok dalam genggamanmu. kita diam, lama tak bersuara. aku hanya rasakan wajahku berkali-kali dipukuli kibaran kerudungmu. selebihnya jantungku merasakan degupanmu. lalu, kamu bertanya
"Sam, ceritakan aku tentang dosa..."
"Kenapa Nei tanya itu?"
"Ya.. Nei pengen nanya aja?"
aku tertawa, dan mencium pipimu. (jangan marah, itu cuma mimpi) lalu aku katakan, (ini tidak sama persis, sudah lewat sehari sih dari mimpi itu, seingat aku aja ya?)
"dosa itu bagiku ukurannya rasa... kalau aku merasa tak nyaman, --takut, cemas, gugup, sakit-- ketika melakukan sesuatu, aku akan menafsirkannya sebagai perbuatan yang ber"dosa". ukuran dosa bagiku, pribadi sekali. ukuran yang dinilai oleh hatiku. jika aku tidak merasa terbebani, aku tidak mengatakan itu dosa, walau bagi orang lain itu dosa."
"Sam bisa beri contoh..."
"aku telah memberi contoh sebelum mengatakan itu."
"kapan?"
"tadi"
"yang mana?" dan kau memalingkan wajahmu. kita begitu dekat, mataku dan matamu hanya tiga jari. aku pasti akan mencuri cium jika kau tak cepat berpaling kembali kematahari yang mulai redup.
"yang tadi..? yang mana?"
"waktu aku mencium pipimu.."
engkau tercekat, kurasakan itu dari daguku yang sedikit tergeser karena getaran pundakmu.
lama, lama engkau diam. aku merasakan nafas yang panjang menghembusi wajahku.
"kenapa diam, Nei...?"
"aku nggak diam Sam, aku sedang bertanya... apakah aku juga tidak cemas saat Sam sentuh pipiku tadi. aku tidak diam. aku hanya sedang berusaha kembali ke suasana tadi, untuk dapat merasakan keyakinan akan ketidakcemasan itu."
"kamu bisa?"
"entahlah... aku tidak yakin."
"aku bisa kok mengembalikanmu ke situasi itu lagi. dan kamu bisa tahu apakah merasa cemas atau gemas."
"eeee Sam... jangan, jang..."
tapi aku tetap menciummu, dan bahumu mengerdik, membuat bibirku kian merapat ke pipi, dua inci dari tahi lalat kembarmu.
"apa yang Nei rasakan?"
tanyaku tanpa merenggangkan jarak dari pipinya.
"ada gemuruh di dadaku Sam"
"gemuruh...? cemas...?
"aku tidak tahu Sam, tidak tahu.."
barangkali aku yang cemas, karena tanpa sadar, daguku sudah tak lagi bersandar di pundaknya, terangkat, dan mataku mencuri pandanganya yang masih lurus ke depan.
"kamu merasa cemas?" aku bertanya, suaraku menggeletar. ah, kenapa aku yang gugup?
"entahlah Sam. barangkali ini cuma gemuruh. gemuruh, dan bukan cemas..."
"ohh..." lega sekali rasanya, dan daguku langsung terdengkur kembali bersanggakan gading pundaknya.
"tapi kenapa Sam mengukur dosa dengan cara begitu?" dia kembali berpaling, dan karena daguku masih di pundaknya, palingan itu membuat hidungku menggoresi pipinya. nyaris kupejamkan mata, ketika kuyakin goresan itu akan terhenti di hidungnya. tapi dirimu kembali mengubah arah palingan, dan membuang nafas.
"karena hanya dengan cara itu aku bisa merasa nyaman mencintaimu, sayang. hanya dengan ukuran itulah, aku dapat secara pasti tahu keinginan hatiku."
"hanya dengan cara itu?"
"iya."
"jadi, ini dosa bukan dalam ukuran yang pasti?"
"apakah ada ukuran yang pasti, sayang? apakah ada yang lebih tahu dari hati kita sendiri?
kami lalu dirampas diam. kurasakan jemarinya yang dingin menarikkan tanganku, seperti ajakan agar aku memeluknya lebih ketat. selebihnya, hidungku disapu kitiran kerudungnya, dan mataku dapat melihat dia terpejam.
mataharipun mulai meredup hingga bayangan kamip mulai sirna. lalu kurasakan
kepalanya menyandari pipiku. ahh, ingin sekali aku menciumnya. sayang, matanya yang memejam membuang keberanianku. aku lebih tertarik menikmati katupan matanya dengan lentik bulu itu, dan garis bibir yang merapat sempurna, dan tahi lalat itu. tak pernah aku sedekat ini sebelumnya. bahkan ciuman tadi, adalah keberanian yang kupaksakan. memang, aku telah memeluknya, tapi hanya melalui kata dan angan.
"sebenarnya Sam takut ya, apa yang kita lakukan ini sebuah dosa?" suaranya begitu dekat. aku tak melihat dia membuka mata. dan kubiarkan dia menunggu jawabanku.
"Sam..."
"ya sayang..."
"Sam takut ya?"
"takut apa?"
"dosa Sam," dia membuka mata dan mencari wajahku, "Sam takut kita berdosa ya?" udara dari mulutnya menyambari bibirku. beberapa kali getaran bibirnya bahkan kurasa merabai sisi bibirku.
"luruskan wajahmu sayang, nanti aku tak tahan untuk tak menciummu."
"tapi Sam jawab dong," tuntutnya sambil mengubah palingan.
kueratkan pelukan. kuketatkan dadaku di pundaknya. "aku tidak takut sayang. karena aku tidak sedang melindungi diri dari dosa. tapi aku akan tetap mencari pahala tanpa harus mengumpulkanya, dan karena dosa bisa datang kapan saja, dimana saja. aku menikmati kebersamaan denganmu. aku menikmati dadaku yang mekar tiap kali berbicara denganmu. tapi terkadang aku kurang bisa membedakan antara cemas dan gemuruh". itu saja.
"dan terakhir sayang, kamu tak merampas apa yang telah aku miliki, dan aku tak akan merampas apa yang telah kamu miliki. aku hanya memiliki sebagian darimu yang selalu ada untukku, dan cintaku tak mengurangi apapun darimu, kamu tetaplah seperti apa adanya. apakah itu dosa?"
"aku tak tahu Sam, yang aku tahu hatiku selalu bergemuruh dan aku tak cemas atas kecupan itu..."
"Mmmuu..."
(blegarrr....!!! aku terbangun, tersentak kaget karena ponselku bunyi, eeeh ternyata Nei yang nelpon,"Sam, Nei kesitu yaah?" yaaah mimpinya kepotong deh... kapan yah bisa mimpi itu lagi heheheheh). Miss U Nei.....
diketik oleh : Sang Pemimpi