Thursday, February 26, 2009

Kata yang Tak Menuntut Apa-apa

Empat belas bulan lalu masih teringat ketika aku menabur serpihan sajak cinta di tengah sungai aura di sekitar kota hatimu. Kemudian engkau berlari-lari kecil ke arahku menembus gerimis yang turun menjelang senja sambil menampung kata-kata yang tersisa dengan kedua tanganmu yang lentik. Setelah itu tak ada cerita yang mengalir dari kedua bibir kita. Kecuali hanya kebisuan yang menambah suasana semakin buram. “Mana puisi cinta itu?!,” katamu sambil memukul-mukul ruang imajinasi dan hatiku. Aku tahu, engkau menginginkan puisi cinta lengkap dengan kerinduan dan bisikan mesra. Bukan sebuah kado dengan pita yang sengaja kubuat dari rajutan huruf-huruf dan tanda baca dengan warna-warna yang tak pernah sama. Bukan juga kata-kata di dalam telepon selularmu yang tak pernah berdering seperti orang membaca puisi dengan suara nyaring. Bukan juga suara dalam telepon rumahmu yang hanya berdering sesekali. Bukan pula telingaku yang hanya mampu mendengarkan keluh kesahmu tentang seseorang di negeri seberang. Aku tahu engkau menginginkan puisi cinta itu dengan bukti setelahnya, aku tahu...


Tapi aku tak mampu merangkai kata-kata untuk menjadi sebuah puisi cinta, aku hanya punya ini.. aku hanya punya kata-kata ini. Kata-kataku yang lahir prematur tanpa ibu, yang berlarian kesana kemari tanpa tujuan yang pasti. "Maukah kau menjadi ibu dari kata-kataku?".


Sungguh, ini kata-kata yang tak menuntut apa-apa. Semua mengalir begitu saja, seperti kisah kita yang berjalan tanpa aba-aba.




diketik oleh Ahmad Adib Amrullah