MEMBEDAH ARTI BID'AH
Upaya menjernihkan kembali konsepsi Bid'ah.*
بديع السموات والأرض...
"Allah pencipta (maha karya bid'ah) langit dan bumi…"
Ketika terlarut dalam tulisan, aku memandang bahasa seperti piano; petikan demi petikan diksi katanya serupa nada-nada, bisa terdengar nyaring, indah dan memukau. Dan, agar keindahan nada suaranya senantiasa terjaga, seringkali aku musti memainkanya secara total, tepusat kepada susunan huruf dan kalimatnya. Tetapi, dalam ruang perenungan, nalarku menyentak, melintasi cakrawala antara keindahan tulisan dan sejatinya keindahan di tengah realita kehidupan manusia. Ternyata, keindahan tidak sebatas tersimpul pada sulaman kata-kata, melainkan keindahan terletak pada manfaatnya. Sekiranya tidak! niscaya kita adalah para penyembah berhala kata, terjerumus sia-sia karenanya.
Lebih mencengangkan! Ada kata yang setelah lama aku renungkan, kata itu serupa kuda liar yang sulit untuk dikendalikan. Kata itu ialah "Bid'ah", suatu kata yang selalu menjadi ajang pembahasan, suatu kata yang membuka kran perdebatan yang keruh dikalangan kaum muslimin, yang susah ditemukan titik jernih di sana, sehingga membuat mereka jenuh, seolah-olah mereka hidup diatas tanah yang penuh paku dan ranjau. Tidak leluasa bergerak, tidak bebas berkreatifitas, takut menginjak ledakan ranjau bid'ah yang telah dengan serampangan di tebar oleh golongan yang paling tidak mengerti apa sesungguhnya arti bid'ah.
Acapkali orang yang ingin mengharamkan sesuatu kepada kita, ia lalu mensifatinya dengan bid'ah. Setiap orang yang ingin menjadikan kita berjalan diatas dedurian, pepakuan dan serpihan kaca - dimana kita berusaha mencari jalan yang terbaik- ia mengklaim apa yang kita lakukan adalah bid'ah. Karena golongan muslim radikal, sesungguhnya keimanan mereka sangat cengeng, takut diri mereka terjerembab dalam lembah bid'ah; yakni segala sesuatu yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Hadist-hadist Rasulullah yang mengatakan:
إياكم ومحدثات الأمور فكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
"Hati-hatilah kamu terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka."
من أحدث فى أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka tertolak."
Hadist-hadist diatas dijadikan landasan untuk mengeluarkan kaum muslimin dari masa dimana kita hidup pada masa itu, tanpa menggali lebih dalam akan esensi makna teks-teks suci tersebut, sehingga nampaklah sebagian kita seolah-olah lebih condong kepada masa lampau, sedangkan kita hidup di zaman modern, di abad Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang menuntut masing-masing dari kita berpikir, melakukan eksperimen, mencipta perangkat dan sistem baru yang mutakhir untuk mengatasi perkembangan kompleksitas problematika hidup manusia.
Saat hal-hal yang baru dikatakan bid’ah, mungkin kita masih bisa menerimanya. Tetapi ketika dikatakan sesat, memandang begitu banyak hal-hal baru yang kita temui di masa ini, apakah kita masih menerimanya?. Pertanyaan selanjutnya, sahihkah hal-hal baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah, semuanya itu adalah bid'ah? dari sisi manakah kita menyebutnya bid'ah? apakah pengertian bid'ah hanya sebatas itu? terus bagaimana kita menghadapi dan menyikapi hal-hal baru yang semakin tumbuh menjamur dewasa ini?. Tentunya, hadist yang secara pemahaman masih dianggap rancu, tidak patut bagi kita memahaminya secara sekilas, karena kemungkinan hadist tersebut berkaitan ataupun diperjelas oleh hadist lain.
Berangkat dari situ, alangkah baiknya jika kita memahami kembali konsepsi bid'ah dengan cara membaca secara bijak hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
من أحدث فى أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka tertolak".
Berdasarkan hasil istinbath Sahib el-Samahah**, hadis tersebut mengandung mafhum mukholafah, pemahaman tersirat sebagai berikut:
من أحدث فى أمرنا هذا ماهو منه فهوليس رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru di dalam perkara kami ini, yang merupakan bagian darinya maka tidak tertolak (diterima)."
Dari situ sudah bisa kita cerna, mana makna bentuk kebaruan (muhdatsah) yang tertolak dan mana bentuk kebaruan yang sahih. Kebaruan yang diterima adalah setiap hal baru yang masih punya akar istinbath dari perkara asal yang ada pada masa atau bersumber dari Nabi SAW. (sebagai bid'ah hasanah). Sedangkan kebaruan yang tertolak adalah kebaruan yang tidak ada jluntrungnya dari teks atau hal-hal kontradikitif yang berasal dari luar teks, (sebagai bentuk bid'ah sayyi'ah). Hal ini bisa lebih ketara jika secara baik-baik kita menela'ah makna huruf "fi" (di dalam) dalam lafadz "fi amrina hadza", dan kalimah "ma laisa minhu" (bukan bagian darinya).
Untuk memperjelas, Shahib el-Samahah memberikan beberapa analogi mengenai pertautan antara makna huruf "fi" dan kalimah "ma laisa minhu" yang diperumpamakan seperti gelas yang berisi susu. Bilamana dikatakan "fil kub mil'aqoh", di dalam gelas terdapat sendok, maka sendok bukan merupakan bagian dari susu. Berbeda ketika dikatakan "fil kub jubnah", di dalam gelas terdapat keju, keju merupakan bagian dari susu, karena ia berasal darinya. Jadi apabila kita mengatakan sendok bagian dari susu itu tidak benar, akan tetapi ketika kita mengatakan keju bagian dari susu, tentu kita bisa menerimanya. Karena walau bentuk keju tidak serupa susu, namun ia berasal, diproses dari susu. Terus ketika ada hal-hal baru yang merupakan bagian dari syari'at, hasil istinbath dari teks-teks suci, dan tidak terdapat nash yang melarangnya kenapa kita harus menolaknya?
Lebih jauh, ketika memperhatikan lidah-lidah manusia yang amat lincah melontarkan kata-kata bid'ah, terbesit dalam benak kami segelintir pertanyaan; dari manakah datangnya bid'ah?. Bid'ah muncul dari sesuatu yang baru (muhdatsah), kemudian dari bid'ah tersebut akan berevolusi menjadi sunnah. Bukankah tidak asing bagi kita istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi'ah, seperti dalam sebuah hadits yang berbunyi;
من سنّ في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة دون أن ينقص من أجورهم شيء ، ومن سنّ في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة دون أن ينقص من أوزارهم شيء "
"Barang siapa membuat tradisi baik (sunah hasanah) dalam islam, baginya pahala (kebajikan itu) dan pahala orang-orang yang mengamalkanya sampai hari kiamat tanpa terkurang sesuatupun dari pahala-pahala mereka. Dan barang siapa membuat tradisi buruk (Sunnah Sayyi'ah) dalam islam, baginya dosa (perbuatan buruknya itu) dan dosa orang-orang yang mengamalkanya sampai hari kiamat tanpa terkurang sesuatupun dari dosa-dosa mereka."
Maka tentu saja dalam terma bid'ah juga terdapat dua karakter bid'ah, yaitu bid'ah hasanah yang menjadi asal sunnah hasanah dan bid'ah sayyi'ah yang menjadi awal sunnah sayyi'ah. Pengkrucutan makna tersebut menemukan keabsahannya ketika mencerna makna salah satu hadits Nabi yang berbunyi:
ومن ابتدع بدعة ضلالةٍ لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل أثام من عمل بها ...(رواه الترمذى)
"Barang siapa membuat bid'ah dhalalah (sayyi'ah), tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Baginya (tanggungan) dosa-dosa orang yang telah mengamalkannya (HR.Turmudzi.)
Adapun definisi sunnah sendiri menurut Sahib el-Samahah dikonsepsikan sebagai; "sesuatu yang ketetapannya disandarkan kepada sumbernya, yang bersifat tetap pada masanya dan terus berlangsung setelah masa itu". Untuk lebih memperjelas definisi dan mengetahui keterkaitan antara muhdatsah, bid'ah dan sunnah, bisa dilihat dari perumpamaan antara; buah anggur, khamr dan kismis (anggur kering).
Buah anggur adalah sumbernya, ketika anggur itu diproduksi menjadi minuman keras (khamr), maka minuman keras tersebut adalah "Muhdastah". Saat minuman keras tersebut terproduksi, ada, dan tetap pada masanya maka ia dinamakan "Bid'ah sayyi'ah", karena minum khamr bukan perintah Allah SWT dan bahkan dilarang syari'ah. Selanjutnya ketika budaya minum khamr tersebut menjadi tradisi dan terus berlangsung pada masa setelahnya, barulah dinamakan "Sunnah Sayyi'ah". Namun hal ini berbeda ketika anggur itu dijadikan kismis, dimana pembuatannya menjadi kismis dikatakan "Muhdastah", ketika kismis itu terproduksi, ada, dan tetap pada masanya maka disebut "Bid'ah Hasanah", sebab keberadaan kismis tidak bertentangan dengan syari'ah. Nah, ketika tradisi memproduksi dan menkonsumsi kismis tersebut berlangsung pada masa selanjutnya barulah dinamakan "Sunnah Hasanah". Dengan demikian, sudah bisa dipastikan bahwasanya hadits yang berbunyi "…kullu bid'atin dhalalah", setiap bid'ah sesat, maksudnya adalah; "… setiap bid'ah sayyi'ah itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka".
Seringkali kita dengar bahwa diadakannya ritual Tahlil, perayaan Maulid Nabi, perayaan hari-hari besar islam dan lain sebagainya yang berbau islami dikatakan itu semua sebagai praktek bid'ah (bid'ah sayyi'ah). Begitu fasih lidah orang yang melafadzkanya, begitu nyaring deringan pantulan suaranya "Ini bid'ah..!, itu bid'ah..!, ini haram..!, itu sesat! ", tanpa mempertimbangkan perkataanya, bukankah dalam al-Qur'an dikatakan:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب، إنّ الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون.
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta; " ini halal, ini haram ", untuk mengada-adakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. AN-Nahl, 116.)
Menyorot kue sebagai misal, dimana kue tersebut tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, kita tidak boleh mengatakanya secara spontan bahwa kue itu haram tanpa meneliti dan mengetahui terlebih dahulu bahan adonan atau unsur-unsur apa saja yang terkandung di dalamnya. Dalam kaidah etika penetapan legalitas hukum tradisi, kita jangan menghalalkan yang haram dan jangan pula mengharamkan yang halal. Hal ini supaya seseorang tidak lancang menghukumi sesuatu secara bebas. Karena hukum yang muncul berdasarkan hawa nafsu tidak bisa dijadikan sebagai kaidah, bahkan hanya akan mengakibatkan kefatalan dan cacatnya fatwa. Maka dari itulah perlunya kita melakukan analisis syar'i sebelum mengklaim kue itu halal atau haram. Jika Kue, diantara bahan-bahannya ialah tepung ,susu, gula, mentega dan lain-lainya dimana kesemua bahan-bahan kue tersebut adalah halal, otomatis kita tahu bahwa kue tersebut halal, dan tidak layak bagi kita mengatakan kue itu haram! Karena setiap sesuatu yang berasal dari bahan-bahan yang halal, maka sesuatu itu menjadi halal. Akan tetapi ketika sesuatu yang terbuat dari seratus bahan yang semuanya halal dan ada satu bahan saja yang haram, maka hasilnya adalah haram, lebih-lebih ketika bahan-bahannya mayoritas berasal dari yang haram.
Begitu juga kaitanya dengan diadakanya tahlil ataupun perayaan-perayaan yang berbau islami, tidak bisa kita mengatakan seenaknya itu adalah bid'ah tanpa melakukan analisis syar'i terlebih dahulu. Nah, ketika isinya berupa hal-hal yang halal bahkan diperintah dalam syari'at dan tidak adanya larangan, terus mengapa kita mengharamkan, kecuali diantara isinya itu ada hal-hal yang memang diharamkan. Namun ketika tidak ada, maka tindakan pengharaman tersebut sama halnya membuat-buat hukum sendiri dan ini tentu ditolak dalam agama.
Tapi, bagaimana dengan fenomena kemungkaran yang mungkin terjadi di dalam perayaan maulid? Seperti pencopetan, pencurian dan beragam tindakan asusila lainnya? Tentu saja hal tersebut tidak bisa menjadi dalil untuk mengharamkan perayaan maulid. Karena segala tindakan kemungkaran itu bukan bagian dari asas dan tujuan Maulid, namun itu semua berasal dari luar yang datang sebagai tindakan pencemaran yang bisa mencemari berbagai kegiatan dan perayaan apapun, seperti pengajian umum, sholat jama'ah di Masjid dan berbagai kegiatan sosial yang lain. Apakah adanya kasus pencopetan, perbuatan mesum dalam acara pengajian umum menjadikan kita yakin pengajian umum itu haram?? Dan jika kasus itu pindah ke dalam Pasar, Terminal atau Mall, apakah akhirnya kita juga berani berfatwa mengharamkan pengadaan Pasar, Terminal ataupun Mall??
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kita tidak bisa mengatakan bid'ah hanya bersandar pada segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah ataupun yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi kita harus menemukan definisi yang akurat, jami' mani', komprehensif tentang terma bid'ah sayyi'ah.
Sahib el-Simahah mendefinisikan bid'ah (bid'ah Sayyi'ah) dengan tiga ragam definisi:
Pertama:
إطلاق ما قيده الله ورسوله أوتقييد ما أطلق الله ورسوله
"Memutlakkan apa yang telah ditaqyid (dibatasi) oleh Allah dan Rasul-Nya atau mentaqyid (membatasi) apa yang telah dimutlakkan oleh Allah dan Rasul-Nya."
Bid'ah ialah memutlakkan apa yang telah ditaqyid oleh Allah dan Rasul-Nya atau membatasi apa yang telah dimutlakkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui, ibadah-ibadah dalam Islam adakalanya;
a) Dibatasi dengan tempat dan waktu. Seperti ibadah haji; tempatnya berada di Jabal 'Arofah, waktunya pada tanggal 9 dzulhijjah.
b) Dibatasi dengan waktu, arah, dan hay'ah. Seperti Shalat; waktunya sebagaimana yang telah diketahui, arahnya Qiblat (ka'bah), hay'ahnya berupa sujud, ruku, duduk dan sebagainya.
c) Dibatasi dengan waktu saja, seperti ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
d) Dibatasi dengan waktu dan nilai, seperti zakat yang disesuaikan dengan macamnya (zakat fitrah, zakat mal, zakat tanaman, dan lain-lain).
Ibadah-ibadah yang telah dibatasi oleh Allah dan Rasul-Nya, ketika ada seseorang yang memutlakkanya ia telah melakukan bid'ah, contoh; ibadah haji tidak mungkin terjadi pada bulan Ramadhan, puasa Ramadhan tidak mungkin terjadi pada bulan syawal, zakat tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan hawa nafsu seseorang, wukuf di 'Arofat tidak mungkin dilakukan diatas Jabal Muqottom, shalat isya' tidak mungkin hanya tiga raka'at. Nah, ketika melewati batas-batas yang telah ditetapkan, hal tersebut adalah bid'ah, dimana pelakunya bisa berakhir di neraka.
Adapun kalimah syahadat "lailaha illallah Muhammad Rasulullah" merupakan ibadah yang terpenting, tidak terkait oleh waktu, arah, nilai, hay'ah, ataupun tempat, tidak diperbolehkan bagi seorangpun membatasinya, sekiranya tindakan tersebut dilakukan, berarti ia telah berbuat bid'ah.
Kedua:
الإجتهاد مع النص لمخالفته وليس لفهمه
"Berijtihad terhadap nash bertujuan menyimpang darinya, bukan untuk memahaminya."
Banyak sekali orang-orang yang menggali nash-nash bukan bertujuan untuk memahaminya tetapi malah untuk menyimpang darinya, orang-orang semacan ini, kita bisa mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bid'ah.
Ketiga:
الخيرة مع الأمر بعد حكم الله و رسوله
"Memilih jalan lain setelah (dtetapkanya) hukum Allah dan Rasul-Nya."
Bid'ah juga berarti memilih jalan lain setelah (dtetapkanya) hukum Allah dan Rasul-Nya, seakan-akan masih ragu terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, siapa saja yang memilih jalan lain ini, bisa kita kategorikan sebagai pembuat bid'ah. Dalam al-Qur'an dikatakan;
وماكان لمؤمن أو مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعصى الله ورسوله فقد ضلّ ضلالا مبينا.
"Dan tidaklah patut bagi seorang mu'min (laki-laki) dan (perempuan), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dalam kesesatan yang nyata."(Q.S. al-Ahzab;36).
Tiga definisi yang diberikan oleh beliau diatas, membuat kita merasa lega dalam menghadapi berbagai macam tuduhan bid'ah. Namun demikian, kami tidak memaksakan para pembaca ketika tidak sesuai dengan definisi tersebut. Harapan kami, semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat, membantu menjernihkan kembali pemahaman bid'ah yang kami anggap kurang tepat. Sehingga, dengan pemahaman ini akan tercipta harmoni, tidak terjadi lagi ketegangan antara sesama ummat islam yang dapat menyeret ummat ke zaman kemunduran spiritual dan peradaban.
ditera oleh;
Ahmad Fadholi
Mahasiswa al-Azhar &
Mazro'ah el-Kiram)
* Sumber catatan; Kalam Shahib el-Samahah dalam Kitab Lahzet Nour dan pengajian mingguan
bersama Syekh Sofwat el-Qadhi. Adapun segala kekhilafan ataupun kekurangan dalam catatan
sederhana ini bersumber dari kelemahan pribadi penulis.
** Sohib el-Samahah adalah sayyidina wa maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad al- Dasuki R.A.
Upaya menjernihkan kembali konsepsi Bid'ah.*
بديع السموات والأرض...
"Allah pencipta (maha karya bid'ah) langit dan bumi…"
Ketika terlarut dalam tulisan, aku memandang bahasa seperti piano; petikan demi petikan diksi katanya serupa nada-nada, bisa terdengar nyaring, indah dan memukau. Dan, agar keindahan nada suaranya senantiasa terjaga, seringkali aku musti memainkanya secara total, tepusat kepada susunan huruf dan kalimatnya. Tetapi, dalam ruang perenungan, nalarku menyentak, melintasi cakrawala antara keindahan tulisan dan sejatinya keindahan di tengah realita kehidupan manusia. Ternyata, keindahan tidak sebatas tersimpul pada sulaman kata-kata, melainkan keindahan terletak pada manfaatnya. Sekiranya tidak! niscaya kita adalah para penyembah berhala kata, terjerumus sia-sia karenanya.
Lebih mencengangkan! Ada kata yang setelah lama aku renungkan, kata itu serupa kuda liar yang sulit untuk dikendalikan. Kata itu ialah "Bid'ah", suatu kata yang selalu menjadi ajang pembahasan, suatu kata yang membuka kran perdebatan yang keruh dikalangan kaum muslimin, yang susah ditemukan titik jernih di sana, sehingga membuat mereka jenuh, seolah-olah mereka hidup diatas tanah yang penuh paku dan ranjau. Tidak leluasa bergerak, tidak bebas berkreatifitas, takut menginjak ledakan ranjau bid'ah yang telah dengan serampangan di tebar oleh golongan yang paling tidak mengerti apa sesungguhnya arti bid'ah.
Acapkali orang yang ingin mengharamkan sesuatu kepada kita, ia lalu mensifatinya dengan bid'ah. Setiap orang yang ingin menjadikan kita berjalan diatas dedurian, pepakuan dan serpihan kaca - dimana kita berusaha mencari jalan yang terbaik- ia mengklaim apa yang kita lakukan adalah bid'ah. Karena golongan muslim radikal, sesungguhnya keimanan mereka sangat cengeng, takut diri mereka terjerembab dalam lembah bid'ah; yakni segala sesuatu yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Hadist-hadist Rasulullah yang mengatakan:
إياكم ومحدثات الأمور فكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
"Hati-hatilah kamu terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka."
من أحدث فى أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka tertolak."
Hadist-hadist diatas dijadikan landasan untuk mengeluarkan kaum muslimin dari masa dimana kita hidup pada masa itu, tanpa menggali lebih dalam akan esensi makna teks-teks suci tersebut, sehingga nampaklah sebagian kita seolah-olah lebih condong kepada masa lampau, sedangkan kita hidup di zaman modern, di abad Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang menuntut masing-masing dari kita berpikir, melakukan eksperimen, mencipta perangkat dan sistem baru yang mutakhir untuk mengatasi perkembangan kompleksitas problematika hidup manusia.
Saat hal-hal yang baru dikatakan bid’ah, mungkin kita masih bisa menerimanya. Tetapi ketika dikatakan sesat, memandang begitu banyak hal-hal baru yang kita temui di masa ini, apakah kita masih menerimanya?. Pertanyaan selanjutnya, sahihkah hal-hal baru yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah, semuanya itu adalah bid'ah? dari sisi manakah kita menyebutnya bid'ah? apakah pengertian bid'ah hanya sebatas itu? terus bagaimana kita menghadapi dan menyikapi hal-hal baru yang semakin tumbuh menjamur dewasa ini?. Tentunya, hadist yang secara pemahaman masih dianggap rancu, tidak patut bagi kita memahaminya secara sekilas, karena kemungkinan hadist tersebut berkaitan ataupun diperjelas oleh hadist lain.
Berangkat dari situ, alangkah baiknya jika kita memahami kembali konsepsi bid'ah dengan cara membaca secara bijak hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
من أحدث فى أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka tertolak".
Berdasarkan hasil istinbath Sahib el-Samahah**, hadis tersebut mengandung mafhum mukholafah, pemahaman tersirat sebagai berikut:
من أحدث فى أمرنا هذا ماهو منه فهوليس رد
"Barang siapa yang membuat hal yang baru di dalam perkara kami ini, yang merupakan bagian darinya maka tidak tertolak (diterima)."
Dari situ sudah bisa kita cerna, mana makna bentuk kebaruan (muhdatsah) yang tertolak dan mana bentuk kebaruan yang sahih. Kebaruan yang diterima adalah setiap hal baru yang masih punya akar istinbath dari perkara asal yang ada pada masa atau bersumber dari Nabi SAW. (sebagai bid'ah hasanah). Sedangkan kebaruan yang tertolak adalah kebaruan yang tidak ada jluntrungnya dari teks atau hal-hal kontradikitif yang berasal dari luar teks, (sebagai bentuk bid'ah sayyi'ah). Hal ini bisa lebih ketara jika secara baik-baik kita menela'ah makna huruf "fi" (di dalam) dalam lafadz "fi amrina hadza", dan kalimah "ma laisa minhu" (bukan bagian darinya).
Untuk memperjelas, Shahib el-Samahah memberikan beberapa analogi mengenai pertautan antara makna huruf "fi" dan kalimah "ma laisa minhu" yang diperumpamakan seperti gelas yang berisi susu. Bilamana dikatakan "fil kub mil'aqoh", di dalam gelas terdapat sendok, maka sendok bukan merupakan bagian dari susu. Berbeda ketika dikatakan "fil kub jubnah", di dalam gelas terdapat keju, keju merupakan bagian dari susu, karena ia berasal darinya. Jadi apabila kita mengatakan sendok bagian dari susu itu tidak benar, akan tetapi ketika kita mengatakan keju bagian dari susu, tentu kita bisa menerimanya. Karena walau bentuk keju tidak serupa susu, namun ia berasal, diproses dari susu. Terus ketika ada hal-hal baru yang merupakan bagian dari syari'at, hasil istinbath dari teks-teks suci, dan tidak terdapat nash yang melarangnya kenapa kita harus menolaknya?
Lebih jauh, ketika memperhatikan lidah-lidah manusia yang amat lincah melontarkan kata-kata bid'ah, terbesit dalam benak kami segelintir pertanyaan; dari manakah datangnya bid'ah?. Bid'ah muncul dari sesuatu yang baru (muhdatsah), kemudian dari bid'ah tersebut akan berevolusi menjadi sunnah. Bukankah tidak asing bagi kita istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi'ah, seperti dalam sebuah hadits yang berbunyi;
من سنّ في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة دون أن ينقص من أجورهم شيء ، ومن سنّ في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة دون أن ينقص من أوزارهم شيء "
"Barang siapa membuat tradisi baik (sunah hasanah) dalam islam, baginya pahala (kebajikan itu) dan pahala orang-orang yang mengamalkanya sampai hari kiamat tanpa terkurang sesuatupun dari pahala-pahala mereka. Dan barang siapa membuat tradisi buruk (Sunnah Sayyi'ah) dalam islam, baginya dosa (perbuatan buruknya itu) dan dosa orang-orang yang mengamalkanya sampai hari kiamat tanpa terkurang sesuatupun dari dosa-dosa mereka."
Maka tentu saja dalam terma bid'ah juga terdapat dua karakter bid'ah, yaitu bid'ah hasanah yang menjadi asal sunnah hasanah dan bid'ah sayyi'ah yang menjadi awal sunnah sayyi'ah. Pengkrucutan makna tersebut menemukan keabsahannya ketika mencerna makna salah satu hadits Nabi yang berbunyi:
ومن ابتدع بدعة ضلالةٍ لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل أثام من عمل بها ...(رواه الترمذى)
"Barang siapa membuat bid'ah dhalalah (sayyi'ah), tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Baginya (tanggungan) dosa-dosa orang yang telah mengamalkannya (HR.Turmudzi.)
Adapun definisi sunnah sendiri menurut Sahib el-Samahah dikonsepsikan sebagai; "sesuatu yang ketetapannya disandarkan kepada sumbernya, yang bersifat tetap pada masanya dan terus berlangsung setelah masa itu". Untuk lebih memperjelas definisi dan mengetahui keterkaitan antara muhdatsah, bid'ah dan sunnah, bisa dilihat dari perumpamaan antara; buah anggur, khamr dan kismis (anggur kering).
Buah anggur adalah sumbernya, ketika anggur itu diproduksi menjadi minuman keras (khamr), maka minuman keras tersebut adalah "Muhdastah". Saat minuman keras tersebut terproduksi, ada, dan tetap pada masanya maka ia dinamakan "Bid'ah sayyi'ah", karena minum khamr bukan perintah Allah SWT dan bahkan dilarang syari'ah. Selanjutnya ketika budaya minum khamr tersebut menjadi tradisi dan terus berlangsung pada masa setelahnya, barulah dinamakan "Sunnah Sayyi'ah". Namun hal ini berbeda ketika anggur itu dijadikan kismis, dimana pembuatannya menjadi kismis dikatakan "Muhdastah", ketika kismis itu terproduksi, ada, dan tetap pada masanya maka disebut "Bid'ah Hasanah", sebab keberadaan kismis tidak bertentangan dengan syari'ah. Nah, ketika tradisi memproduksi dan menkonsumsi kismis tersebut berlangsung pada masa selanjutnya barulah dinamakan "Sunnah Hasanah". Dengan demikian, sudah bisa dipastikan bahwasanya hadits yang berbunyi "…kullu bid'atin dhalalah", setiap bid'ah sesat, maksudnya adalah; "… setiap bid'ah sayyi'ah itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka".
Seringkali kita dengar bahwa diadakannya ritual Tahlil, perayaan Maulid Nabi, perayaan hari-hari besar islam dan lain sebagainya yang berbau islami dikatakan itu semua sebagai praktek bid'ah (bid'ah sayyi'ah). Begitu fasih lidah orang yang melafadzkanya, begitu nyaring deringan pantulan suaranya "Ini bid'ah..!, itu bid'ah..!, ini haram..!, itu sesat! ", tanpa mempertimbangkan perkataanya, bukankah dalam al-Qur'an dikatakan:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب، إنّ الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون.
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta; " ini halal, ini haram ", untuk mengada-adakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. AN-Nahl, 116.)
Menyorot kue sebagai misal, dimana kue tersebut tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, kita tidak boleh mengatakanya secara spontan bahwa kue itu haram tanpa meneliti dan mengetahui terlebih dahulu bahan adonan atau unsur-unsur apa saja yang terkandung di dalamnya. Dalam kaidah etika penetapan legalitas hukum tradisi, kita jangan menghalalkan yang haram dan jangan pula mengharamkan yang halal. Hal ini supaya seseorang tidak lancang menghukumi sesuatu secara bebas. Karena hukum yang muncul berdasarkan hawa nafsu tidak bisa dijadikan sebagai kaidah, bahkan hanya akan mengakibatkan kefatalan dan cacatnya fatwa. Maka dari itulah perlunya kita melakukan analisis syar'i sebelum mengklaim kue itu halal atau haram. Jika Kue, diantara bahan-bahannya ialah tepung ,susu, gula, mentega dan lain-lainya dimana kesemua bahan-bahan kue tersebut adalah halal, otomatis kita tahu bahwa kue tersebut halal, dan tidak layak bagi kita mengatakan kue itu haram! Karena setiap sesuatu yang berasal dari bahan-bahan yang halal, maka sesuatu itu menjadi halal. Akan tetapi ketika sesuatu yang terbuat dari seratus bahan yang semuanya halal dan ada satu bahan saja yang haram, maka hasilnya adalah haram, lebih-lebih ketika bahan-bahannya mayoritas berasal dari yang haram.
Begitu juga kaitanya dengan diadakanya tahlil ataupun perayaan-perayaan yang berbau islami, tidak bisa kita mengatakan seenaknya itu adalah bid'ah tanpa melakukan analisis syar'i terlebih dahulu. Nah, ketika isinya berupa hal-hal yang halal bahkan diperintah dalam syari'at dan tidak adanya larangan, terus mengapa kita mengharamkan, kecuali diantara isinya itu ada hal-hal yang memang diharamkan. Namun ketika tidak ada, maka tindakan pengharaman tersebut sama halnya membuat-buat hukum sendiri dan ini tentu ditolak dalam agama.
Tapi, bagaimana dengan fenomena kemungkaran yang mungkin terjadi di dalam perayaan maulid? Seperti pencopetan, pencurian dan beragam tindakan asusila lainnya? Tentu saja hal tersebut tidak bisa menjadi dalil untuk mengharamkan perayaan maulid. Karena segala tindakan kemungkaran itu bukan bagian dari asas dan tujuan Maulid, namun itu semua berasal dari luar yang datang sebagai tindakan pencemaran yang bisa mencemari berbagai kegiatan dan perayaan apapun, seperti pengajian umum, sholat jama'ah di Masjid dan berbagai kegiatan sosial yang lain. Apakah adanya kasus pencopetan, perbuatan mesum dalam acara pengajian umum menjadikan kita yakin pengajian umum itu haram?? Dan jika kasus itu pindah ke dalam Pasar, Terminal atau Mall, apakah akhirnya kita juga berani berfatwa mengharamkan pengadaan Pasar, Terminal ataupun Mall??
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kita tidak bisa mengatakan bid'ah hanya bersandar pada segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah ataupun yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi kita harus menemukan definisi yang akurat, jami' mani', komprehensif tentang terma bid'ah sayyi'ah.
Sahib el-Simahah mendefinisikan bid'ah (bid'ah Sayyi'ah) dengan tiga ragam definisi:
Pertama:
إطلاق ما قيده الله ورسوله أوتقييد ما أطلق الله ورسوله
"Memutlakkan apa yang telah ditaqyid (dibatasi) oleh Allah dan Rasul-Nya atau mentaqyid (membatasi) apa yang telah dimutlakkan oleh Allah dan Rasul-Nya."
Bid'ah ialah memutlakkan apa yang telah ditaqyid oleh Allah dan Rasul-Nya atau membatasi apa yang telah dimutlakkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui, ibadah-ibadah dalam Islam adakalanya;
a) Dibatasi dengan tempat dan waktu. Seperti ibadah haji; tempatnya berada di Jabal 'Arofah, waktunya pada tanggal 9 dzulhijjah.
b) Dibatasi dengan waktu, arah, dan hay'ah. Seperti Shalat; waktunya sebagaimana yang telah diketahui, arahnya Qiblat (ka'bah), hay'ahnya berupa sujud, ruku, duduk dan sebagainya.
c) Dibatasi dengan waktu saja, seperti ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
d) Dibatasi dengan waktu dan nilai, seperti zakat yang disesuaikan dengan macamnya (zakat fitrah, zakat mal, zakat tanaman, dan lain-lain).
Ibadah-ibadah yang telah dibatasi oleh Allah dan Rasul-Nya, ketika ada seseorang yang memutlakkanya ia telah melakukan bid'ah, contoh; ibadah haji tidak mungkin terjadi pada bulan Ramadhan, puasa Ramadhan tidak mungkin terjadi pada bulan syawal, zakat tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan hawa nafsu seseorang, wukuf di 'Arofat tidak mungkin dilakukan diatas Jabal Muqottom, shalat isya' tidak mungkin hanya tiga raka'at. Nah, ketika melewati batas-batas yang telah ditetapkan, hal tersebut adalah bid'ah, dimana pelakunya bisa berakhir di neraka.
Adapun kalimah syahadat "lailaha illallah Muhammad Rasulullah" merupakan ibadah yang terpenting, tidak terkait oleh waktu, arah, nilai, hay'ah, ataupun tempat, tidak diperbolehkan bagi seorangpun membatasinya, sekiranya tindakan tersebut dilakukan, berarti ia telah berbuat bid'ah.
Kedua:
الإجتهاد مع النص لمخالفته وليس لفهمه
"Berijtihad terhadap nash bertujuan menyimpang darinya, bukan untuk memahaminya."
Banyak sekali orang-orang yang menggali nash-nash bukan bertujuan untuk memahaminya tetapi malah untuk menyimpang darinya, orang-orang semacan ini, kita bisa mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bid'ah.
Ketiga:
الخيرة مع الأمر بعد حكم الله و رسوله
"Memilih jalan lain setelah (dtetapkanya) hukum Allah dan Rasul-Nya."
Bid'ah juga berarti memilih jalan lain setelah (dtetapkanya) hukum Allah dan Rasul-Nya, seakan-akan masih ragu terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, siapa saja yang memilih jalan lain ini, bisa kita kategorikan sebagai pembuat bid'ah. Dalam al-Qur'an dikatakan;
وماكان لمؤمن أو مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعصى الله ورسوله فقد ضلّ ضلالا مبينا.
"Dan tidaklah patut bagi seorang mu'min (laki-laki) dan (perempuan), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dalam kesesatan yang nyata."(Q.S. al-Ahzab;36).
Tiga definisi yang diberikan oleh beliau diatas, membuat kita merasa lega dalam menghadapi berbagai macam tuduhan bid'ah. Namun demikian, kami tidak memaksakan para pembaca ketika tidak sesuai dengan definisi tersebut. Harapan kami, semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat, membantu menjernihkan kembali pemahaman bid'ah yang kami anggap kurang tepat. Sehingga, dengan pemahaman ini akan tercipta harmoni, tidak terjadi lagi ketegangan antara sesama ummat islam yang dapat menyeret ummat ke zaman kemunduran spiritual dan peradaban.
ditera oleh;
Ahmad Fadholi
Mahasiswa al-Azhar &
Mazro'ah el-Kiram)
* Sumber catatan; Kalam Shahib el-Samahah dalam Kitab Lahzet Nour dan pengajian mingguan
bersama Syekh Sofwat el-Qadhi. Adapun segala kekhilafan ataupun kekurangan dalam catatan
sederhana ini bersumber dari kelemahan pribadi penulis.
** Sohib el-Samahah adalah sayyidina wa maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad al- Dasuki R.A.